
Oleh : Acep Sutrisna, Analis Kebijakan Publik Tasik Utara
Bayangkan ini: pada Kamis malam, 28 Agustus 2025, ribuan demonstran turun ke jalan di depan Gedung DPR RI, Jakarta, menuntut keadilan atas kenaikan harga beras yang melambung hingga 50% lebih tinggi dari tahun lalu, tagihan listrik yang naik drastis karena subsidi dipangkas, dan pajak yang menggerogoti bahkan uang receh parkir. Tapi apa yang terjadi? Aksi damai berubah ricuh ketika pasukan Brimob menyerbu, dan tragedi pun meledak: seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan, 21 tahun, tewas dilindas mobil rantis Brimob di Pejompongan. Video kejadian menyebar viral, menunjukkan bagaimana kendaraan barracuda itu melindas korban tanpa ampun, sementara rekan-rekannya berteriak kesakitan. Ini bukan kecelakaan; ini pembunuhan di depan mata, dengan 7 anggota Brimob di dalam mobil tersebut, yang kini janji ditindak tegas oleh Kapolda Metro Jaya.
Lucu juga negeri ini, ya? Alih-alih introspeksi, pemerintah langsung lempar tuduhan klasik: "Ini ulah dalang asing!" Seakan-akan rakyat Indonesia terlalu bodoh untuk marah atas masalah nyata mereka sendiri. Padahal, kemarahan ini meledak karena akumulasi kegagalan internal: kabinet low grade penuh titipan politik, menteri sibuk jadi buzzer proyek infrastruktur daripada atasi inflasi, dan utang negara yang ditinggalkan era Jokowi menembus Rp 8.000 triliun, membuat generasi muda jadi budak bunga utang. Demo bukan datang dari luar; ini jeritan rakyat yang muak dengan oligarki dinasti, di mana konstitusi dilubangi untuk "anak haram" politik jadi wakil presiden, disertifikasi MK yang jadi alat kekuasaan.
Tapi yang lebih menusuk: sementara rakyat berdarah-darah di jalanan, anggota DPR malah berjoget riang gembira atas kenaikan gaji dan tunjangan fantastis! Video viral menunjukkan mereka bergoyang di sidang, tepat setelah pengumuman tunjangan rumah Rp 3 juta per hari, tunjangan beras hingga Rp 12 juta per bulan, dan gaji pokok plus tunjangan lain yang bisa tembus Rp 100 juta lebih per bulan. Said Iqbal dari KSPI sindir habis: "DPR joget-joget naik gaji, buruh harus demo dulu baru didengar." Ini bukan apresiasi pidato presiden, seperti klaim mereka; ini tamparan bagi rakyat yang pontang-panting bertahan hidup, dengan upah minimum stagnan dan inflasi makanan meroket. Wakil rakyat? Lebih tepat wakil kepentingan sendiri!
Tragedi Affan memicu gelombang demo lanjutan: dini hari 29 Agustus 2025, massa menyerbu Mako Brimob di Kwitang dan Solo, membakar mobil dan tuntut keadilan. Kapolri Listyo Sigit Prabowo minta maaf dan janji usut tuntas, sementara Presiden Prabowo Subianto turut berduka, tapi tetap himbau waspada "unsur huru-hara" – lagi-lagi narasi dalang asing. Ketua DPR Puan Maharani pun minta korban dirawat hingga sembuh, tapi janji "berbenah" terdengar hampa di tengah tunjangan mewah mereka.
Dan inilah puncak kemarahan: di tengah darah tumpah dan joget DPR, rakyat menuntut segera sahkan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor! RUU ini, yang sudah bergulir sejak lama, masih mandek di DPR meski KPK terus dorong penyelesaiannya untuk efektifitas pemberantasan korupsi. Sayangnya, RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas 2025, membuat negara kehilangan triliunan rupiah aset koruptor setiap tahun. Pemerintah klaim siap bahas, tapi DPR lamban, seolah melindungi koruptor yang asetnya aman di luar negeri. Di X, jeritan rakyat bergema: "Sah kan RUU perampasan aset koruptor sekarang juga!" sambil kritik DPR yang lebih taat pada ketua partai daripada rakyat. Korupsi adalah biang kerok utama: aset rampasan bisa pulihkan kerugian negara, tapi elite ogah, karena mungkin mereka sendiri yang terlibat.
Jadi, kalau mau cari dalang ricuh, tak perlu ke luar negeri. Dalangnya di gedung DPR itu sendiri: yang teken utang tanpa rem, obral kursi jabatan, robek konstitusi demi dinasti, dan kini tambah dosa dengan joget di atas mayat rakyat sambil tunda RUU anti-korupsi. Aparat yang lindas demonstran, DPR yang hura-hura, dan pemerintah yang sibuk alihkan isu – ini kegagalan sistemik, bukan konspirasi asing. Indeks korupsi kita masih jeblok di peringkat 110 dunia, investasi asing kabur karena birokrasi busuk, sementara rakyat dipaksa bayar mahal untuk kegagalan elite.
Mungkin "pihak asing" itu memang akal sehat, yang terasa asing di republik ini. Sudah saatnya rakyat bangun: tuntut audit utang, bubarkan oligarki, hukum mati koruptor, dan segera sahkan RUU Perampasan Aset! Jika tidak, darah Affan dan jeritan buruh akan sia-sia, sementara elite terus pesta di atas penderitaan kita. Bangun, Indonesia – dalangnya bukan luar, tapi para penjahat rumah tangga yang kita biayai sendiri!**