Sinjai Tindak.Com-
Dugaan penguasaan aset desa oleh oknum bendahara di Desa Samaturue, Sinjai, yang belakangan ramai dibicarakan warga, seharusnya menjadi tamparan keras bagi tata kelola pemerintahan desa. Betapa tidak isu ini bukan sekadar tentang sebuah laptop dan motor Dinas yang “nyasar” ke rumah pribadi, tetapi tentang bagaimana aset publik bisa berubah fungsi menjadi barang privat tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Warga Samaturue sudah lama menunjukkan kegelisahan mereka. Barang milik desa yang seharusnya menjadi fasilitas bersama malah seolah “dianugerahkan” kepada satu orang. Pengadaan laptop dengan harga belasan juta rupiah, yang idealnya dipakai seluruh perangkat Desa, justru menghilang di tangan oknum tertentu. Ironis? Sudah pasti. Menggelikan? Sedikit banyak, iya. Bagaimana tidak,dengan dana sebesar itu, tiga laptop berkualitas sedang bisa dibeli, namun yang terjadi justru satu laptop premium yang manfaatnya “eksklusif”.
Kritik terhadap Laporan Pertanggung jawaban (LPJ) Samaturue pun tak kalah keras. Walaupun sudah memiliki laptop puluhan juta, LPJ tetap saja jalan di tempat,lamban, monoton, dan seolah sekadar menunaikan kewajiban tahunan. Tidak ada kemajuan berarti, tidak ada transparansi yang diperkuat. Seakan-akan laptop mewah itu hanya menjadi pajangan digital yang tak pernah benar-benar berfungsi untuk peningkatan administrasi.
Lebih jauh, dugaan penguasaan motor dinas yang justru disimpan di rumah pribadi oknum bendahara makin memperburuk citra pengelolaan desa. Motor dinas, yang seharusnya menjadi kendaraan operasional perangkat desa untuk melayani masyarakat, malah seperti berubah status menjadi motor keluarga. Jika benar demikian, sulit untuk tidak mempertanyakan: ini motor dinas, atau motor hadiah?
Semua ini bukan semata-mata persoalan administrasi, tetapi persoalan etika, integritas, dan rasa malu,yang tampaknya semakin langka. Pemerintah desa harusnya memahami bahwa mereka memegang amanah besar dari warga, bukan memegang katalog barang untuk dipilih sesuai selera pribadi.
Karena itu, seruan warga yang menuntut audit menyeluruh adalah langkah paling logis dan wajar. Publik berhak mengetahui bagaimana uang mereka dikelola, ke mana aset desa bergerak, dan siapa saja yang menikmatinya. Pemeriksaan independen diperlukan agar dugaan-dugaan ini tidak terus menggantung di udara tanpa kejelasan.
Satu hal yang pasti, transparansi bukanlah hadiah, melainkan kewajiban. Dan pemerintahan desa yang bersih bukanlah slogan, tetapi komitmen nyata. Samaturue membutuhkan perbaikan, bukan pembenaran. Keterbukaan, bukan pembungkaman. Integritas, bukan sekadar formalitas.
Desa bisa maju jika tata kelolanya benar.,Dan untuk itu, satu pesan tegas perlu diulang,
Semoga Tidak ada lagi ruang untuk kekeliruan,apalagi kelicikan
Penulis:M.S.Mattoreang