 
SINJAI Tindak.Com-
Pagi itu Di jalan Nasional Sinjai- Bulukumba, pemandangan berbeda dari sebelumnya. Di antara riuh anak-anak berseragam putih merah, tampak tiga bocah berjalan dengan langkah pelan. Di pundak kecil mereka, terpampang selembar papan kayu ,sepanjang 25cm x1 meter, terlalu panjang untuk tangan sekecil itu, terlalu berat untuk alasan yang belum mereka pahami sepenuhnya.
"Guru yang suruh bawa, katanya mau buat tempat sepatu,”
ujar salah seorang anak polos ketika disapa wartawan. Sembari tersenyum malu, seolah tidak menyadari bahwa yang ia ceritakan sesungguhnya adalah kisah yang memilukan.
Di mata anak-anak itu, mungkin membawa papan hanyalah bagian dari tugas sekolah. Namun bagi siapa pun yang menyaksikan, pemandangan tersebut menyisakan getir: mengapa beban fisik dan tanggung jawab fasilitas sekolah harus dipikul oleh mereka yang seharusnya hanya memikul tas berisi buku dan mimpi?
Di sisi lain, kepala sekolah SDN 231 Balampesoang, Hamzah, S.Pd., ketika dikonfirmasi wartawan, mengatakan,ini salah satu pembelajaran kerajinan tangan (Rak sepatu) Khusus Untuk anak didik kelas VI
"Jadi ini material untuk bahan latihan membuat karya, yang mungkin nanti banyak manfaat nya setelah tamat 
Ia menambahkan bahwa ini adalah kesepakatan antara guru dan siswa 
"selaku Kepala sekolah, kedepannya saya akan awasi guru lebih ketat,baik dalam hal pembelajaran maupun praktek, Pungkasnya 
Mengulik lebih jauh  aturan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012, sekolah tidak diperkenankan membebankan biaya atau kewajiban dalam bentuk apa pun kepada peserta didik, baik berupa uang maupun barang, untuk kepentingan fasilitas sekolah.
Namun di lapangan, aturan itu sering tersisih oleh kebiasaan lama: gotong royong yang bergeser makna. Yang semula berniat mendidik rasa peduli, berubah menjadi beban yang diam-diam menyalahi hati nurani pendidikan.
Pemerhati pendidikan menilai, tindakan seperti ini adalah cermin lemahnya kesadaran lembaga pendidikan terhadap hak anak.
"Anak-anak SD tidak seharusnya diminta membawa material apa pun. Kalau ingin menanamkan nilai gotong royong, bisa dengan cara yang aman, ringan, dan bermakna. Bukan dengan beban fisik seperti papan,”
ujar seorang aktivis pendidikan di Sinjai 
Beban di Pundak, Luka di Hati
Bagi anak-anak itu, mungkin besok mereka sudah lupa rasa lelah memikul papan. Tapi bagi dunia pendidikan, peristiwa ini semestinya menjadi pengingat: bahwa setiap kebijakan dan perintah di sekolah seharusnya berpihak pada anak, bukan menindih mereka dengan tanggung jawab yang bukan miliknya.
Sebuah papan sepanjang satu meter mungkin tampak sepele bagi orang dewasa. Tapi bagi pundak mungil yang memikulnya, papan itu adalah  simbol beratnya dunia yang kadang lupa bahwa masa kecil seharusnya ringan dan berwarna.
Harapan di Tengah Keprihatinan
Masyarakat kini menunggu langkah nyata dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sinjai untuk menelusuri dan menegur pihak sekolah agar kejadian serupa tidak terulang.
Karena sekolah seharusnya menjadi tempat anak-anak belajar tentang cita-cita, bukan tempat mereka belajar menanggung beban yang seharusnya dipikul orang dewasa.
Di ujung kisah ini, anak-anak itu mungkin telah selesai membuat tempat sepatu dari papan yang mereka bawa. Tapi di hati kita, tersisa satu pertanyaan yang menggantung:
"Apakah pendidikan kita sudah benar-benar berpihak pada anak, atau justru perlahan menumpangkan beban kepada mereka yang belum seharusnya memikulnya?
M.S.Mattoreang
 
 
 
 
 
 
