Sulawesi Selatan Tindak.Com-
Penipuan berkedok jual-beli dan gadai kendaraan kembali menjadi tontonan favorit di Sulawesi Selatan,
khususnya di kabupaten Sinjai dan kabupaten Bulukumba
Modusnya klasik, seperti sinetron yang tak pernah tamat: korban diberi iming-iming uang jutaan rupiah, kendaraan dilepas meski masih kredit, lalu… pelaku menghilang seperti pesulap murahan.
Bedanya, korban tak pernah tepuk tangan , justru aparat dan pembiayaan yang tampaknya terlalu sering jadi penonton setia.
Di sosial media, rumor berkembang liar. Ada yang bertanya apakah pelaku ini benar-benar jenius… atau hanya beruntung karena berada di wilayah yang sistem pengawasannya seperti pintu tanpa engsel , ada bentuknya, tapi tak berfungsi.
Masyarakat makin heran:
Mengapa para penipu seperti punya karpet merah?
Sementara leasing dan perusahaan pembiayaan menghadirkan adegan ironi yang selalu sama:
Ketika angsuran telat sehari, telepon masuk. Ketika kendaraan hilang karena penipuan, yang hilang bukan cuma kendaraan ,tapi kepedulian mereka.
Di sisi lain, polisi terdengar rajin mengimbau warga agar berhati-hati. Tentu bagus. Tapi apakah imbauan itu cukup di tengah maraknya aksi penipuan? Jika imbauan bisa menyelesaikan kasus, mungkin tak perlu lagi ada penyidik, cukup admin media sosial.
Tidak sedikit masyarakat yang mulai bertanya-tanya , dengan nada getir:
Kalau pelaku sebebas itu, apakah aparat benar-benar kesulitan… atau justru belum sempat menengok?
Penyelesaian kasus-kasus ini seolah berjalan seperti lampu merah tengah malam.,hidup, tapi tak ada yang peduli. Padahal, masyarakat berharap polisi tidak hanya hadir saat apel pagi dan razia knalpot, tapi juga ketika kriminalitas merajalela.
Karena itu, tak ada alasan lagi untuk menunda.
Polisi, leasing, dan pembiayaan wajib duduk dalam satu tim, menyisir setiap modus, mengikuti aliran kendaraan, dan memastikan tidak ada celah internal yang dibiarkan menganga.
Jika tidak, penipu akan terus berpesta.
Korban akan terus berjatuhan.
Dan aparat serta pembiayaan akan terus menerima kritik ,yang makin lama makin pedas.
Pada akhirnya, masyarakat hanya ingin satu hal:
Lihatlah kami. Dengarlah kami. Tindaki para pelaku.
Bukan sekadar berdiri di pinggir lapangan sambil berkata, “Hati-hati, ya!!.
Penulis
M.S.Mattoreang